SERI SIROH NABI ﷺ: PERJANJIAN HUDAIBIYAH

Perjanjian Hudaibiyah - www.pedulifajrifm.org

Bagikan :

PERJANJIAN HUDAIBIYAH

Pada saat Rosululloh ingin mengutus seorang duta untuk menegaskan kepada orang-orang Quraisy sikap dan tujuan dari perjalanan beliau dan kaum muslimin menuju Makkah, maka beliau memanggil Umar untuk dijadikan sebagai duta kepada mereka, namun Umar keberatan seraya berkata, “Wahai Rosululloh, tidak ada seorangpun yang berasal dari Bani Ka’ab akan marah jika aku disiksa, maka utuslah Utsman bin Affan, karena sanak kerabatnya ada di sana dan dia pasti dapat menyampaikan apa yang kau mau.”

Maka Utsman pun dipanggil lalu diutus kepada Quraisy. Nabi  berkata kepadanya, “Sampaikanlah kepada mereka bahwa kedatangan kita bukan untuk berperang melainkan untuk berumroh, dan ajak mereka untuk masuk Islam.” Dan Nabi juga memerintahkan agar menemui beberapa orang laki-laki beriman yang ada di Makkah, demikian juga dengan kaum wanitanya, lalu memberi khabar gembira kepada mereka perihal sudah dekatnya kemenangan serta menyampaikan bahwa Alloh akan memenangkan agama-Nya di Makkah, sehingga tidak ada lagi orang yang beriman secara sembunyi-sembunyi.

Maka berangkatlah Utsman hingga berpapasan dengan orang Quraisy di Baldah, mereka menanyakan, “Hendak ke mana kau?” maka ia menjawab, “Rosululloh mengutusku begini dan begini.” Mereka mengatakan, “Kami sudah dengar apa yang kau katakan, maka laksanakanlah keperluanmu.” Lalu Aban bin Sa’id bin al-‘Ash menghampiri dan menyambut kedatangannya, lalu mempersilahkan Utsman menaiki kudanya, maka dia pun naik. Kemudian dia memberikan jaminan keselamatan padanya dan memboncengnya hingga sampai di Makkah. Utsman menyampaikan misinya kepada para pemuka Quraisy. Setelah menunaikan semua misinya, mereka mempersilahkan untuk melaksanakan thawaf, tapi dia menolak hingga Rosululloh lah yang lebih dahulu berthawaf.

Utsman bin Affan pun ditawan oleh orang Quraisy dan penahanan itu pun berlangsung lama, hingga tersebarlah isu sampai kepada Nabi, beliau berkata, “Kita tidak akan beranjak dari sini sebelum memerangi mereka.” Kemudian Nabi mengajak semua sahabatnya untuk berbaiat kepada beliau, dan mereka pun berhamburan untuk berbaiat kepada beliau untuk tidak melarikan diri. Bahkan ada sekelompok orang yang berbaiat untuk setia sampai mati. Orang yang pertama kali berbaiat kepada beliau adalah Abu Sinan al-Asadi, sementara Salamah bin al-Akwa’ melakukan baiat kepada Nabi untuk setia kepada beliau sampai mati sebanyak tiga kali; di deretan pertama dari para pembaiat, di tengah-tengah dan di deretan paling ujung. Kemudian Nabi memegang tangan sendiri sambil berkata, “Ini adalah baiat untuk Utsman.” Tatkala baiat rampung, Utsman pun datang dan langsung berbaiat. Akhirnya semua orang ikut berbaiat kepada Nabi kecuali seorang munafiq bernama Jadd bin Qais.

Proses baiat ini dilaksanakan oleh Nabi di bawah pohon, Umar memegang tangan beliau, sementara Ma’qil bin Yasar memegangi dahan pohon dengan mengangkatnya agar tidak mengenai Rosululloh . Inilah Baiat ar-Ridwan yang mengenainya Alloh menurunkan firman-Nya dalam Al-Qur’an surat Al-Fath ayat yang ke 18: artinya

“Sesungguhnya Alloh telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Maka Alloh mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat waktunya.”

Orang-orang Quraisy mengetahui bahwa keadaan makin genting, maka mereka segera mengutus Suhail bin Amr untuk membuat perjanjian damai dan menegaskan kepada Suhail bahwa, “Rosululloh harus kembali ke Madinah pada tahun ini, agar bangsa Arab tidak membicarakan tentang kita selama-lamanya bahwa dia telah masuk ke Makkah dengan kekerasan.” Maka Suhail bin Amr menemui Nabi, dan ketika Nabi melihatnya, beliau berkata, “Dia telah memudahkan urusan kalian. Orang-orang Quraisy ingin mengadakan perjanjian damai saat mengutus orang ini.” Maka Shuhail pun datang dan terjadilah perbincangan yang cukup lama dengan Nabi, kemudian keduanya bersepakat atas beberapa kaidah perjanjian, di antaranya yaitu:

Yang pertama: Bahwa Rosululloh harus kembali ke Madinah pada tahun ini dan tidak boleh masuk ke Makkah. Lalu pada tahun yang akan datang, kaum Muslimin diperbolehkan memasuki kota Mekkah dan tinggal di sana selama tiga hari dengan hanya boleh membawa senjata yang biasa dibawa oleh seorang pengendara, yaitu pedang dalam sarungnya dan orang-orang Quraisy tidak boleh mengganggu mereka dalam bentuk apapun.

Yang kedua: Bahwa genjatan senjata selama 10 tahun antara kedua belah pihak, semua orang merasa aman, dan saling menahan diri.

Yang ketiga: Bahwa barangsiapa yang ingin bergabung ke dalam perjanjian Muhammad, dia boleh melakukannya. Begitu juga sebaliknya, yang ingin bergabung dengan pihak Quraisy, maka dia boleh melakukannya. Karena itu, Kabilah yang bergabung dengan salah satu dari kedua belah pihak dianggap menjadi bagian darinya, sehingga bentuk kezhaliman apa saja terhadap masing-masing kabilah tersebut, maka dianggap sebagai kezhaliman terhadap pihak tersebut.

Yang keempat: Bahwa siapa saja yang mendatangi Muhammad dari pihak Quraisy tanpa izin dari walinya, maka dia harus dikembalikan kepada mereka lagi, dan sebaliknya, jika yang datang kepada mereka berasal dari pihak Muhammad, maka ia tidak dikembalikan lagi kepada beliau. Kemudian pendengar. Nabi Muhammad memanggil Ali untuk menulis perjanjian itu, dan beliau mendiktekan kepadanya dengan “Bismillahirrahmanirrahim.” Maka Suhail memotong, “Adapun kata ar-Rahman, demi Alloh, kami tidak tahu apa itu? Akan tetapi cukup tulis saja dengan “Bismika Allohumma.” Nabi  pun menyuruh Ali untuk melakukan hal itu. Kemudian Nabi  mendiktekan kata selanjutnya, “Inilah pernjanjian damai yang dibuat oleh Muhammad, Rosululloh.” Suhail menyeluk lagi, “Jika kami tahu bahwa engkau utusan Alloh, tentu kami tidak akan menghalang-halangimu menuju Masjidil Haram dan tidak pula memerangimu! Jadi, cukup tulis Muhammad bin Abdulloh.” Nabi berkata, “Sesungguhnya aku adalah Rosululloh akan tetapi kalian mendustakanku.” Lalu beliau memerintahkan Ali untuk menulis Muhammad bin Abdulloh dengan mengapus kata “Rosululloh” namun kali ini Ali enggan untuk menghapus kata itu, maka beliau sendiri yang menghapusnya dengan tangannya. Akhirnya selesailah penulisan perjanjian itu. Ketika perjanjian damai sudah selesai, kabilah Khuza’ah pun bergabung dalam perjanjian Nabi.

Baca Artikel Lainnya!

Ketika penulisan perjanjian ini sedang dilakukan, datang Abu Jandal bin Suhail dalam keadaan kaki diborgol, ia melarikan diri dari dataran rendah kota Makkah hingga tiba-tiba dia melemparkan dirinya ke tengah-tengah kaum Muslimin. Maka Suhail berkata, “Ini adalah kasus pertama yang aku perkarakan kepadamu untuk engkau kembalikan ke Mekkah.” Maka Nabi berkata, “Sesungguhnya kita belum lagi menuntaskan perjanjian ini.” Dia menjawab, “Demi Alloh, kalau begitu aku juga tidak jadi melakukan perjanjian denganmu selamanya.” Lalu Nabi berkata, “Relakanlah ia, demi aku.” Dia menjawab, “Aku tidak akan melakukannya.” Nabi berkata kembali, “Tolong, lakukanlah.” Dan ia tetap menjawab, “Aku tidak akan melakukannya.”

Setelah itu Suhail ayahanda Abu Jandal memukul wajah Abu Jandal, kemudian memegangi kerah bajunya dan menyeretnya untuk mengembalikannya kepada kaum musyrikin. Abu Jandal berteriak-teriak dengan suara yang keras, “Wahai kaum Muslimin! Apakah kalian rela aku dikembalikan kepada orang-orang musyrik yang akan menggoda keislamanku? Maka Rosululloh berkata, “Wahai Abu Jandal, bersabarlah dan mohonlah pahala kepada Alloh, sesungguhnya Alloh akan memberikan kepadamu dan orang-orang lemah selainmu jalan keluarnya, karena kita telah membuat perjanjian damai dengan orang-orang musyrik dan telah memberikannya, demikian juga, mereka telah memberi kita janji Alloh. Karena itu, kita tidak akan mengkhianati mereka.”

Lalu Umar bin al-Khathab langsung melompat ke Abu Jandal dan berjalan di sampingnya seraya berkata, “Bersabarlah wahai Abu Jandal, sesungguhnya merekalah orang-orang musyrik, darah mereka tidak ubahnya seperti darah anjing.” Sambil mendekatkan panggal pedang kepadanya. Umar berkata, “Aku berharap dia mau mengambil pedang itu sehingga membunuh bapaknya sendiri, namun dia tidak mau melakukannya sehingga perjanjian itu pun terlaksana.”

Setelah Rosululloh menyelesaikan urusan perjanjian, beliau berkata, “Bangunlah kalian dan sembelihlah hewan korban kalian.” Ketika itu tidak ada satu pun di antara sahabat yang berdiri hingga beliau mengucapkannya tiga kali. Maka ketika tidak ada satu pun di antara mereka yang mau berdiri, beliau beranjak pergi menemui istri beliau Ummu Salamah dan menyebutkan sikap para shahabat terhadap beliau. Maka Ummu Salamah berkata, “Wahai Rosululloh, apakah engkau ingin melakukannya? Keluarlah, dan jangan berbicara dengan siapapun sampai engkau menyembelih hewan kurbanmu, lalu memanggil tukang cukur agar mencukurmu.” Maka beliau  bergegas keluar dan tidak berbicara kepada siapa pun, beliau sembelih hewan kurbannya lalu memanggil tukang cukur. Ketika orang-orang melihat apa yang beliau lakukan. Mereka langsung bangkit dan menyembelih hewan kurban mereka, dan sebagian mencukur rambut sebagian yang lain. Bahkan sebagian mereka hampir saja mencelakakan sebagian yang lain akibat hanyut oleh perasaan sedih. Mereka menyembelih 1 ekor onta untuk 7 orang, begitu juga dengan sapi. Rosululloh menyembelih onta yang dulunya milik Abu Jahal yang di hidungnya terdapat sepotong perak. Hal ini, untuk membuat orang musyrik merasa muak melihat itu. Rosululloh juga mendoakan bagi yang mencukur habis rambutnya agar mereka mendapatkan ampunan sebanyak 3 kali, dan bagi yang memendekkan rambutnya, hanya sebanyak satu kali saja.

Dalam perjalanan ini Alloh menurunkan wahyu-Nya yang berkenaan dengan aturan membayar fidyah Adza yaitu adanya gangguan atau penyakit di kepala bagi yang mencukur habis rambutnya dengan berpuasa, bersedekah atau melakukan ibadah terkait dengan kasus Ka’ab bin Ujrah.

Inilah genjatan senjata Hudaibiyyah. Yang pasti, Nabi tidak ragu lagi bahwa itu merupakan kemenangan yang paling besar bagi kaum Muslimin, karena orang-orang Quraisy belum pernah mengakui eksistensi kaum Muslimin sama sekali, bahkan ingin menumpas mereka sampai ke akar-akarnya dan selalu menanti hari di mana mereka bisa melihat riwayat kaum Muslimin itu berakhir. Quraisy juga selalu berusaha dengan segala kekuatan yang dimiliki untuk membangun tembok pemisah antara perkembangan dakwah Islam dan ummat manusia, mengingat mereka adalah pencerminan dari kepemimpinan agama dan kekuasaan politik di Jazirah Arab. Karena itu, dengan sekedar condong kepada perjanjian damai, maka sudah merupakan sebuah pengakuan atas eksistensi kekuatan kaum Muslimin dan menunjukkan bahwa kaum Quraisy tidak sanggup lagi melawan kekuatan mereka.

Kaum Muslimin sebetulnya merasa sedih dengan perjanjian perdamaian ini, kesedihan ini dikarenakan dua sebab: yaitu

Yang pertama: Karena Nabi telah memberitahukan kepada mereka untuk melaksanakan thawaf di Masjidil Haram, namun beliau kembali dan tidak jadi melaksanakan thawaf.

Dan Yang kedua: Sesungguhnya beliau adalah Rosululloh yang tentunya berada dalam kebenaran, dan Alloh telah menjanjikan kemenangan untuk agama ini, lalu kenapa Nabi menerima semua tekanan kaum Quraisy dan harus memberikan kehinaan dalam perjanjian gejatan senjata tersebut?

Kedua hal inilah yang menimbulkan berbagai keraguan, kebimbangan dan berbagai prasangka di kalangan kaum Muslimin serta membuat perasaan mereka menjadi sangat terluka, sehingga kegelisahan dan rasa sedih lebih mendominasi pikiran para shahabat Nabi. Dan barangkali yang paling terpukul adalah Umar bin al-Khathab, saat dia menemui Rosululloh dan berkata, “Wahai Rosululloh, bukankah kita berada diatas kebenaran dan mereka di atas kebathilan?” Rosululloh menjawab, “Tentu.” Lalu Umar berkata, “Bukankah yang terbunuh dari pihak kita akan masuk surga sedangkan mereka masuk neraka?” Nabi menjawab, “Tentu” Lalu Umar berkata lagi, “Lalu kenapa kita mengalah dalam masalah agama kita dan kembali ke Madinah, sementara Alloh belum memberikan keputusan antara kita dan mereka?” Maka Nabi berkata, “Wahai Ibnu al-Khathab, sesungguhnya aku ini adalah Rosululloh dan aku tidak mendurhakai-Nya, Dialah Penolongku dan Dia tidak akan menyia-nyiakan aku selamanya.” Lalu Umar berkata, “Bukankah engkau pernah menjanjikan bahwa kita akan pergi ke sana dan berthawaf?” Nabi berkata, “Ya, lalu apakah aku menjanjikan bahwa kita pergi ke Masjidil Haram pada tahun ini juga?” Umar menjawab, “Tidak.” Lalu Rosululloh berkata, “Kamu pasti datang dan thawaf di sana nanti!”

Umar berangkat dengan sedikit kesal menemui Abu Bakar, lalu dia mengatakan kepadanya sebagaimana yang disampaikannya kepada Nabi dan Abu Bakar pun memberikan jawaban sebagaimana yang diberikan Nabi kepadanya dan menambahi, “Wahai Umar, berpegang teguhlah kepada perintah dan larangannya sampai engkau mati. Demi Alloh, sesungguhnya beliau berada dalam kebenaran.”

Kemudian turunlah wahyu Alloh kepada Rosululloh yaitu Al-Qur’an surat Al-Fath ayat yang 1, yang artinya:

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.”

Lalu Rosululloh mengutus seseorang kepada Umar, dan membacakan ayat tadi. Umar berkata, “Wahai Rosululloh, apakah itu benar-benar sebuah kemenangan?” Rosululloh menjawab, “Benar, wahai Umar.” Baru setelah itu dia merasa tenang dan segera kembali ke tempatnya lagi. Setelah itu Umar merasa sangat menyesal atas segela tindakan dan sikapnya pada Nabi.      

Umar berkata, “Sejak saat itu saya puasa, shalat, memerdekakan budak, dengan harapan bisa menebus semua yang telah saya lakukan saat itu, karena aku merasa begitu ketakutan terhadap apa yang telah aku katakan, sampai-sampai berharap semoga semua yang aku lakukan itu merupakan suatu kebaikan.”

Wallohu’alam

Yuk! Bersama Luaskan Dakwah dengan Sedekah Jariyah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories