Perang Dzat ar-Riqa’
Setelah pengusiran Bani an-Nadhir, Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam menetap di Madinah selama bulan Rabi’ul Akhir dan sebagian Jumadil Ula. Setelah itu, ada berita yang disampaikan oleh mata-mata Madinah tentang berhimpunnya orang-orang badui dan pedalaman dari Bani Muharib dan Bani Tsa’labah untuk melakukan serangan terhadap Madinah. Akhirnya beliau shollallohu ‘alaihi wasallam berangkat ke Nejed untuk menyerang Bani Muharib dan Bani Tsa’labah dari Ghathafan itu. Sementara itu Beliau shollallohu ‘alaihi wasallam menunjuk Abu Dzar al-Ghifary sebagai imam sementara di Madinah. Kemudian Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam pun berangkat bersama pasukannya hingga tiba di Nakhl yakni Nama sebuah tempat di Nejed di wilayah Athfaan. Di sanalah terjadi perang Dzat ar-Riqa’.
Disebut Dzat ar-Riqa’ karena mereka mengoyak bendera mereka. Ada yang mengatakan bahwa Dzaatur Riqa’ adalah nama sebuah pohon di sana. Ada pula yang mengatakan disebut Dzat Riqa’ karena batu-batuan mengoyak tapak kaki mereka, sehingga telapak kaki mereka terkoyak, lalu disebutlah dengan Dzat Riqa’.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah al-Anshari rodhiallohu ‘anhu, dia berkata, ‘Kami keluar bersama Rasulullah di perang Dzât ar-Riqâ’ dari Nakhl. Kemudian Salah seorang dari sahabat nabi melukai seorang istri dari kaum musyrikin. Ketika Rasulullah telah kembali ke Madinah, datanglah suami wanita tersebut. Setelah dikabarkan kepadanya apa yang terjadi, ia bersumpah tidak akan kembali hingga bisa menumpahkan darah sahabat-sahabat nabi. Lantas orang itu berjalan menelusuri jejak Rasulullah. Ketika sampai di suatu tempat, Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam singgah di sana dan bersabda, “Siapa yang bersedia berjaga malam ini?” Seorang sahabat Anshar dan seorang sahabat Muhajirin berkata, “Kami siap melakukan penjagaan, wahai Rasulullah.” Kemudian beliau shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda kepada keduanya, “Hendaklah kalian berdua berjaga-jaga di mulut jalan ini!” Ketika keduanya telah berada di mulut jalan, sahabat Anshar itu berkata kepada sahabat Muhajirin, “Kapan engkau lebih senang berjaga, awal malam atau akhir malam?” Sahabat Muhajirin itu menjawab, “Jagalah aku di awal malam!“
Setelah itu ia pun tidur, sementara sahabat Anshar berjaga sambil berdiri mengerjakan shalat. Ketika itu datanglah suami wanita kaum musyrikin tersebut.
Melihat kedua orang sahabat Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam, tahulah ia bahwa mereka bertugas mengintai musuh. Ia segera melempar panah hingga mengenai sahabat yang sedang shalat, namun sahabat tersebut mencabutnya dan tetap berdiri tegak. Orang musyrik itu kembali melempar panah. Namun sahabat Anshar itu mencabutnya dan tetap berdiri kokoh. Orang musyrik itu kembali melempar panah. Sahabat itu mencabutnya lalu ruku’, sujud dan membangunkan sahabatnya lalu berkata: “Bangunlah, sungguh aku terluka parah!” Sahabat Muhajirin itu segera bangun, dan ketika keduanya melihat orang musyrik itu, ia segera sadar bahwa keberadaan dirinya telah diketahui lalu ia melarikan diri. Melihat darah mengalir di tubuh sahabatnya, sahabat Muhajirin itu berkata, “Subhânallâh, mengapa engkau tidak membangunkanku saat orang musyrik itu melemparmu panah?” Sahabat Anshar itu menjawab, “Saat itu aku sedang membaca sebuah ayat al-Qur’an, dan aku tidak ingin memotongnya hingga aku menyelesaikan bacaannya. Ketika anak panah terus menerus mengenaiku, aku pun ruku’ dan membangunkanmu. Demi Allah, kalaulah bukan karena khawatir melalaikan tugas yang diperintahkan oleh Rasulullah yang harus kulaksanakan, niscaya orang musyrik itu pasti membunuhku sebelum aku menyelesaikan bacaanku.“
Ibnu Ishaq berkata, “Setibanya dari perang Dzat ar-Riqa’, Rasulullah menetap di Madinah pada sisa bulan Jumadil Ula, Jumadil Akhir dan Rajab.” Inilah sekilas perististiwa yang terjadi antara dua perang besar, perang Uhud dan perang Ahzab (Khondaq). Wallohu’alam