Search

MEMBANGUN TRADISI KEJUJURAN

Bagikan :

As-Shidq adalah mengatakan atau melakukan kebenaran. As-Shidq diartikan pula perkataan dan perbuatan yang sesuai dengan kebenaran. Imam Nawawi mengartikan as-shidq yaitu mengabarkan sesuatu yang sesuai dengan realitanya. Karena itu, as-shidq sering diartikan dengan kejujuran.

Kejujuran bisa dibilang adalah harta termahal yang hari ini sangat langka dan terbilang cukup sulit didapati. Ia adalah kompetensi yang dicari oleh semua pebisnis. Apapun bentuk usaha yang dilakoni, tanpa kejujuran pelakunya niscaya tak kan lama bertahan. Kalaupun ada yang masih dikunjungi pembeli, pasti hanya akan menambah panjang deret orang yang menelan kekecewaan.

Ketidakjujuran adalah sebuah keburukan. Karena itulah secara normal semua orang pasti tidak menyukainya. Seorang pimpinan perusahaan selalu mencari karyawan yang jujur. Bahkan untuk menjaga eksistensi perusahaannya, ia akan memasukkan kejujuran sebagai syarat mutlak yang harus dimiliki oleh orang kepercayaannya. Berapa banyak pengusaha yang telah men-delete orang yang tak jujur dari daftar pegawainya.

Demikian pula halnya, para orangtua juga tak mau memiliki anak yang tidak jujur. Rasa was-was dan khawatir pasti selalu menyelimuti mereka jika memiliki anak yang tak jujur. Betapa tidak, jika perilaku sang anak sudah terbungkus oleh ketidakjujuran, maka kehormatan keluarga cepat atau lambat akan tercoreng. Perilaku baik dan penurut di depan orang tuanya hanya menjadi kamuflase atas tindak penyimpangan bersama komunitas pergaulannya.

Kejujuran adalah salah satu akhlak mulia yang sangat ditekankan di dalam Islam. Seorang muslim harus berlaku jujur, baik kepada Alloh swt, kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain.

Rosululloh saw bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ

“Hendaknya kalian berlaku jujur. Karena kejujuran akan menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan akan menuntun ke surga” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kejujuran adalah karakter seorang mukmin. Adapun kebalikannya yaitu kedustaan adalah karakter seorang munafik, sebagaimana dalam sabda Rosululloh saw :

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Tanda orang munafik ada tiga; jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika dipercaya ia berkhianat”. (Muttafaq ‘alaih).

Kedustaan dalam perkataan, mengingkari janji dan mengkhianati amanah yang menghiasi perilaku seorang munafik adalah bentuk-bentuk ketidakjujuran.

Adapun seorang mukmin, ia selalu bertindak jujur dalam segala hal. Setiap amalnya dibangun diatas pondasi keikhlasan. Niatnya benar karena Alloh, bukan karena dorongan minta dipuji (riya atau sum’ah) atau yang lainnya. Ia jujur dalam niatnya. Ia beramal karena konsekwensi imannya. Ia beriman kepada Alloh, tunduk dan taat menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Apa yang tampak dalam amal lahiriahnya adalah realisasi dari apa yang terkandung dalam hatinya. Ia jujur dalam amalnya.

Kondisi ini sangat berbeda dengan orang yang munafik. Adapun seorang munafik, ia tampil sebagai orang yang taat kepada syariah Islam, namun hatinya menyembunyikan kebencian. Apa yang dipendam dalam hatinya berbeda dengan yang tampak di permukaan.

Kejujuran; Tradisi Islam yang Luhur

Rosululloh  senantiasa menuntun umatnya untuk membangun tradisi kejujuran dalam segala hal. Dalam banyak kesempatan beliau menuntun umatnya berhias diri dengan akhlak mulia ini.

Dalam berniaga, beliau berpesan agar kejujuran dimiliki oleh setiap pelaku bisnis, baik ia bertindak sebagai penjual maupun pembeli. Perniagaan yang diberkahi adalah yang dilakukan dengan penuh kejujuran. Beliau bersabda:

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

“Dua orang yang berjual beli itu boleh saling memilih selama belum berpisah. Jika keduanya jujur dan berterus terang mereka akan diberkahi dalam jual beli itu. Jika keduanya bohong dan menyembunyikan cacat maka hilanglah keberkahan jual beli mereka”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hal pendidikan anak, Rosululloh saw berpesan kepada orangtua agar berlaku jujur walaupun kepada anak mereka yang masih kecil. Keluguan mereka bukanlah alasan bagi sang orang tua membubuhi kedustaan dalam mendidik mereka.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amir ia bercerita, “Suatu hari Rosululloh saw datang ke rumah kami, saat itu aku masih kanak-kanak. Lalu aku beranjak hendak bermain. Ibuku lalu berkata: “Wahai Abdulloh, kemarilah, aku akan memberimu sesuatu!”. Rosululloh saw lalu bertanya kepadanya: ”Apa yang akan kau berikan kepada anakmu?”. Ibuku menjawab: “Aku akan memberinya kurma”. Lalu Rosululloh saw bersabda: “Jika engkau tidak memberinya maka dicatat bagimu sebuah kedustaan”. (HR. Ahmad)

Dalam berbicara, beliau juga berpesan agar kita hanya membicarakan suatu kebaikan. Ucapan yang baik harus selalu mewarnai lisan kita. Jika tidak demikian, maka diam menjadi satu-satunya pilihan. Beliau bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa beriman kepada Alloh dan hari akhir maka hendaklah ia berkata baik atau ia diam” (HR. Bukhori dan Muslim).

 

وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسُ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدَ أَلْسِنَتِهِمْ

“Bukankah manusia ditelungkupkan wajah-wajah mereka di neraka karena akibat ucapan lisan-lisan mereka?” (HR. Tirmidzi).

Sungguh indah dan sangat sempurna pendidikan Islam. Setiap bentuk perilaku kita dituntun dengan begitu apik. Tak ada yang terlewatkan.

Kalau saja setiap mukmin berupaya menghiasi diri dengan nilai-nilai Islam dan membangun tradisinya yang luhur, sejak niat yang diluruskan, ucapan yang diwarnai kejujuran, dan perbuatan yang selaras dengan tuntunan iman, niscaya berbagai bentuk keberkahan akan menyeruak di tengah masyarakat.

Alloh swt berfirman:

 “Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan perbuatan mereka.” (QS. al-A’rof [7]: 96)

Wallohu a’lam bisshowab.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *